Jeritan Petani

Hampir tiap tahun petani di berbagai penjuru Tanah Air menggelar aksi demo dalam rangka peringatan Hari Tani Nasional (24 September). Bukannya merayakan dengan sukacita, petani malah menjerit. Petani menjerit menuntut agar pemerintah memperhatikan kesejahteraan petani, dan mendesak pemerintah segera menghentikan impor pangan (beras, kedelai, daging, garam, cabai, bawang, dll).

Sungguh menyedihkan! Alam raya Nusantara yang subur belum mampu menjadikan petaninya makmur. Berbagai persoalan seperti: menyusutnya lahan sawah; rendahnya produktivitas tenaga kerja usaha tani; teknologi sederhana; pemasaran bergantung pada tengkulak; terbatasnya modal dan fasilitas kredit; minimnya perbaikan/pembaharuan infrastruktur (jalan, jembatan, irigasi, listrik, dll).

Meningkatnya pertumbuhan penduduk Indonesia pasti butuh pasokan bahan pangan berlebih. Kenyataannya, area sawah beralih fungsi. Dirjen Prasarana dan Sarana Kementerian Pertanian, Gatot Irianto mengatakan setiap tahun sekitar 110.000 hektar lahan pertanian beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian. Lahan pertanian itu berubah fungsi dari pemukiman sampai peruntukan bisnis (Antaranews.com, 19/08/2013). Sementara pembukaan lahan baru sangat lamban dan sulit diwujudkan.

Di pulau Jawa hampir tidak memungkinkan lagi untuk membuat lahan baru seiring maraknya pembangunan perumahan, hotel, kantor, dll. Sementara di luar Jawa juga mengalami krisis lahan cukup parah. Luas lahan di Sumsel mencapai 8,7 juta hektar. Sebanyak 4,9 juta hektar lahan dikuasai perusahaan perkebunan sawit dan pertambangan (Kompas, 25/09/2012). Alih fungsi lahan sawah juga terjadi di beberapa kabupaten di Sumbar: Dharmasraya, Pasaman Barat, dan Solok Selatan.

Lemahnya posisi tawar petani berdampak serius bagi keutuhan bangsa. UUD 1945 pada alinea kedua membubuhkan kalimat: “….mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Bagaimana mengantarkan petani (rakyat) menuju kemakmuran jika area persawahan disulap jadi bangunan?

Luas lahan sawah Indonesia jauh tertinggal, yakni 8,06 juta hektar dan tegalan/kebun 12,28 juta hektar (BPS, 2009). Amerika Serikat memiliki lahan pertanian sekitar 175 hektar, India (161 juta), China (143 juta), Brasil (58 juta), dan Australia (50 juta). Luas lahan per kapita Indonesia 0,03 hektar. Bandingkan dengan Australia 2,63 hektar; AS (0,61); Brasil (0,34); China (0,11); India (0,16); Thailand (0,52); dan Vietnam (0,10) (Kementan Pertanian, 2011). Betapa sialnya Indonesia yang kaya sumber daya alam!

Keadaan pertanian di Indonesia sangat kontras dibandingkan kondisi pertanian di negara yang bukan agraris. Amerika, Belanda, Jerman, dan Jepang adalah contoh negara bukan agraris tapi sistem pertanian di negara tersebut lebih maju bahkan komoditi pangan unggulan diekspor ke negara lain, termasuk Indonesia. Area persawahan di negara-negara tersebut terus dipertahankan, selain teknologi pertaniannya ditingkatkan.

Buktinya, Amerika Serikat dikenal sebagai penghasil kacang kedelai, gandum, dan kapas. Harga produk kedelai sangat mempengaruhi harga dunia, termasuk Indonesia. Belanda dengan luas wilayah relatif kecil dibandingkan Indonesia, pada tahun 2011 berada peringkat 2 sebagai negara pengekspor produk pertanian di dunia. Produk andalannya adalah bunga dan sayuran. Di Jepang, setiap lahan kosong dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dengan optimal. FAO menjadikan daerah pertanian di jepang masuk dalam daftar warisan penting sistem pertanina global (GIAHS).

Jika konversi lahan di Indonesia tidak dikendalikan, pasokan pangan tidak akan bertambah. Impor mengalir deras. Nilai rupiah melemah. Pengangguran meningkat serta migrasi penduduk dari desa ke kota pun meningkat. Oleh karena itu,  perda perlindungan lahan pertanian mendesak diberlakukan di setiap daerah. Dalam jangka pendek, mengganti lahan pertanian ke non pertanian memang menguntungkan. Dalam jangka panjang, menjadi ancaman serius bagi masa depan bangsa.

Suatu bangsa yang bukan agraris bisa memasok pangan sendiri, wah, luar biasa. Tetapi ada bangsa agraris ternyata tak mampu mempertahankan dan memandirikan hasil pangan, ah, sebuah kesalahan besar. Sektor pertanian di Indonesia kalah telak dibandingkan dengan negara maju.

Dalam UU No. 18 Tahun 2012, pada pasal 1 ayat 3 tentang pangan disebutkan bahwa kemandirian pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. Faktanya, Indonesia selalu bergantung pada impor. Dengan kata lain,  negara belum mampu mencipatakan kemandirian pangan.

Lahan pertanian semakin (di)sempit(kan), penduduk makin bertambah. Negara (pemerintah), dengarlah jeritan petani!***

(Pernah dimuat di Harian Padang Ekspres pada tanggal 24 September 2013)

Diterbitkan oleh febroni

Jurnalis

Tinggalkan komentar